Ulasan Cerpen “Historical Fiction”
ODOP Batch 7 Kelas Fiksi

(Sumber foto : Historiana)


Ulasan Cerpen “Mahapralaya Bubat”
Karya: Heru Sang Amurwabumi

Taukah kalian tentang salah satu pidato Presiden pertama Indonesia Bapak Soekarno yang diberi judul JAS MERAH (Jangan sekali-kali kita melupakan sejarah) didalam sejarah terdapat tiga dimensi yaitu masa lalu, sekarang dan akan datang.
Itu mengapa sejarah ada untuk diingat dijadikan pelajaran bukan dilupakan, karena sejatinya didalam sebuah sejarah banyak pelajaran hidup yang bisa kita ambil sisi positifnya agar hidup menjadi baik dan sisi negative dijadikan pelajaran agar kesalahan tidak terulang kembali.
Hai sahabat aksara, kali ini aku mendapat tugas dari Kelas Fiksi ODOP Batch 7 untuk mengulas salah satu Karya Cerpen Historical fiction dan akhirnya aku memilih untuk mengulas cerpen milik Pak Heru Sang Amurwabumi yang berjudul “Mahapralaya Bubat”, ya cerpen historical fiction ini termasuk jenis cerpen baru sehingga sedikit susah untuk menemukan cerpen sejenis ini, terbukti saat aku kebingungan mencari sumber lewat google yang tak kunjung kutemukan.
“Mahapralaya Bubat,” cerpen ini dimulai dengan kisah Gajah Mada yang kehilangan lukisan wajah Pitaloka, karena lukisan yang dibawa oleh Sungging Prabangkara lukisan wajah yang khusus dilukis untuk gajah Mada, ditengah jalan diminta oleh iring-iringan Bathara Hayam Wuruk karena lukisan itu terletak didalam bumbungan yang sangat mencurigakan, namun ternyata setelah isinya dibuka Hayam muruk malah terkesima dengan isi didalam bumbungan itu sehingga dimintalah lukisan itu dari Sungging Prabangkara.
Dilain sisi, hati Gajah Mada dibuat hancur berkali-kali oleh kenyataan pahit yang harus diterimanya dari pernyataan Hayam Wuruk.
Hayam Wuruk sang Raja Majapahit secara terang-terangan meminta tolong kepada Gajah Mada untuk melamarkan Dyah Pitaloka putri Baginda Lingga Buana itu untuknya. Kalian tau pasti bagaimana rasanya melamarkan orang yang kita cintai untuk dipinang oleh orang lain, begitulah sakitnya sama seperti yang Gajah Mada rasakan pada saat Sang raja memerintahkan hal itu batinnya ingin memberontak tapi dia tak bisa, dia memang telah berjanji akan mengorbankan segalanya bahkan nyawa untuk mengabdi pada Majapahit, tapi seharusnya tidak untuk Pitaloka gadis yang dia cintai.
Gajah Mada pergi menuju tanah sunda, hingga disuatu tempat dia dipertemukan kembali dengan Pitaloka. Rasanya tak mampu membendung segala kekecewaannya Mada mengutarakan isi hatinya dan kepercayaannya yang telah dihancurkan oleh Pitaloka, ternyata kemegahan Kerajaan Majapahit telah membutakan cinta Pitaloka dan mengkhianati cinta Mada. Segala janji yang pernah mereka ucapkan ternyata kini hanyalah tinggal sebuah kenangan belaka.
Setelah kejadian tersebut Gajah Mada tidak langsung pulang ke Majapahit, dia melanjutkan perjalanan ke tenggara, menapaki lereng Pawita. Setelah selesai menyucikan diri Mada merasa tubuhnya melebur bersama alam semesta, dalam keheningan jiwanya hanyut pada ambang batas antara alam sadar dan alam bawah sada. Mada menyaksikan adanya peperangan para punggawa Kepatihan Majapahit dengan rombongan Galuh, ternyata Senopati Galuh menggerakkan prajurit-prajuritnya karena menentang untuk tidak menyerahkan putri Baginda Lingga Buana sebagai sesembahan Raja Majapahit. Perang yang dikenal dengan Perang Bubat ini ternyata telah menewaskan banyak korban termasuk Dyah Pitaloka dan Ayahnya Baginda Lingga Buana. Selum gadis sunda itu menutup mata untuk selamanya ia sayup-sayup membisikan kalimat bahwa jauh-jauh dia dari tanah sunda datang ke trowulan untuk Mada, bukan untuk HayamWuruk.
Sudah berapa warsa berlalu sejak terjadinya perang Bubat, Gajah Mada telah meninggalkan Trowulan dan menanggalkan gelar Mahapatih Amangkubumi Wilwaktita. Hingga pada suatu hari Mahapatih yang bernama gajah Enggon datang mewartakan kepada Gajah Mada bahwa Niskala Wastu Kencana, satu-satunya putra mendiang Baginda Lingga Buana yang tertinggal di Galuh, yang kini telah naik tahta telah menyerukan larangan bahwa menikah dengan orang Jawa adalah pantangan bagi seluruh orang Sunda dan keturunannya kelak.
Dari cerpen historical fiction diatas, Pak Heru selaku penulis menceritakan kembali sejarah dimasa lalu yang dampaknya masih terasa hingga saat ini, Mitos larangan bahwa orang Jawa dan Orang Sunda menikah itu adalah sebuah kutukan dari Raja terdahulu, meski sudah ada sejarah yang menceritakan asal muasalnya ternyata mitos ini masih sangat erat hubungan dengan masyarakat saat ini. Banyak dari mereka yang tetap mengikuti tradisi untuk tidak melanggar pantangan ini, namun tak sedikit pula yang telah melanggar pantangan pernikahan ini. Apalagi dizaman yang semakin modern cerita-cerita histori yang sejarahnya sudah hampir terlupakan dan mengkitu mitos-mitos yang berkembang dimasyarakat modern sekarang dikatakan sangat kuno.
Pada cerita ini pula sang penulis, yang mengambil sudut pandang sebagai Gajah Mada ingin meluruskan sebuah persoalan tentang terjadinya perang Bubat tersebut bukanlah tentang ambisi Gajah Mada untuk mewujudkan Sumpah Mukti Palapa-nya, melainkan sesungguhnya, Bubat ini adalah akhir dari perjalanan asmara tiga manusia yaitu antara Gajah Mada, Dyah pitaloka dan Hayam wuruk.
Dari cerita diatas kita bisa mengambil kesimpulan dan pelajaran berharga bahwa kesetiaan itu mahal harganya, jangan petaruhkan sebuah cinta hanya demi sebuah iming-iming kemegahan kekuasaan semata, karena ketulusan cinta itu hanya dapat kita temukan pada orang-orang hebat.
Sebagai generasi muda memang baik jika kita mengikuti perkembangan yang ada, namun jangan sampai juga untuk melupakan sejarah yang pernah terjadi ditanah nusantara ini.
Sedikit ulasan cerpen dari saya, semoga membantu teman-teman semua untuk mempelajari kembali sejarah yang ada,. Kurang lebihnya saya mohon maaf, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, dan kesalahan itu datangnya dari diri saya sendiri.

#UlasanCerpenHistorialFiction
#OneDayOnePost
#ODOPBatch7
#Kelas Fiksi

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini