Cerpen Kompetisi - Nulis buku.com

*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com




Secangkir kisah Si Hitam yang manis
Sebenarnya aku bukan penggemar minuman hitam manis ini. Meski begitu bukan berarti aku tak pernah meminum nya apalagi membuatnya. Aku malah sering membuatnya di dapur dengan Emak. Bahkan aku sangat suka mendengar cerita menarik lainnya soal kopi. Minuman sederhana namun penuh arti. Lebih suka lagi jika meminumnya ketika hujan turun seperti pagi ini, hujan semalam yang tak kunjung reda yang menghantarkan banyak guyuran air pagi hari ini mengenangi halaman rumah membuat siapapun enggan beranjak dari tempat tidur bahkan untuk menyeduh secangkir minuman khas pagi hari.
Cuaca yang dingin terbalut dengan seduhan hangat kopi menjadikan suasana sedikit nyaman. Dari macam-macam sachet kopi siap seduh aku lebih suka kopi “cap emak”. Iya, kopi asli racikan tangan Emak. Tubuhnya yang kian ringkih akibat usia bahkan keriput ditanggan nya pun tak mengurangi kadar rasa nikmat kopi buatannya yang dari waktu ke waktu kian bertambah nikmat diseduh. Entah takaran yang seperti apa yang beliau selalu buat sehingga bisa menimbulkan aroma yang nikmat tentunya dengan rasa yang tak kalah jauh dari aroma nya.
Pernah suatu kali aku mencoba membuat kopi yang sama seperti racikan Emak dari takaran jumlah gula bahkan kopi dan juga airnya,  namun rasanya tetap saja tak semanis seduhan milik Emak. Tapi aku tak menyerah untuk belajar terus membuat minuman kopi itu sehingga suatu saat rasanya pasti bisa senikmat buatan Emak atau mungkin bahkan lebih nikmat.
Yaa sekarang anak remaja seusiaku mungkin banyak yang tidak bisa membuat kopi dengan racikannya sendiri. Selain tak ada waktu banyak kopi cepat saji lebih mudah dibuat dengan banyaknya berbagai kopi instan dengan variasi yang berbeda seperti kopi susu, kopi mocalate, kopi capucino dan lain sebagainya mungkin lebih nikmat dari racikan sendiri. Tapi sebagai gadis keturunan jawa asli aku mencoba meneruskan tradisi membuat kopi racikan sendiri yang menurutku rasanya jauh lebih nikmat dari kopi merk manapun. Aku ingin seperti Emak meski jaman cepat berlalu tapi kecintaannya pada kopi-kopi asli tetap sama.
“ Ini kopi rasa apa, nggak manis juga nggak pahit. ” komentar pertama Bapak ketika aku mulai belajar membuat kopi. Kesalahannya adalah takaran kopi dan gula yang seimbang tapi kebanyakan air.
“ Rasa asli kopi itu memang pahit, tapi kok buat kopi gak ada rasa manis-manisnya iki mau dikasih gula apa ora buatnya.” komentar kedua Bapak ketika aku menyeduh kopi dengan takaran gula sedikit karena persediaan gula didapur Emak sudah habis. Emak selalu menyediakan kopi tepat waktu untuk Bapak karena jika kopi tidak ada di meja, Bapak bisa-bisa marah. Selama beberapa hari ini aku melarang Emak membuat kopi karena usia tua beliau aku jadi tak tega melihatnya berulang kali keluar masuk dapur.
“ Kemarin rasanya pahit  gara-gara kurang gulanya, sekarang rasanya manis sekali apa ganti kopinya yang habis.” ejek Bapak lagi ketika mencicipi kopi kesekian buatan.
“ Ini nih, ini baru kopi namanya rasanya pas. Ora pahit yaa ora manis. Lain kali buatnya koyo ngene maneh yoo nduk, enakkk.” Komentar terakhir yang aku dengar dari Bapak. Setelah itu rasa kopi buatanku nggak kalah nikmat dengan racikan buatan Emak soalnya aku tak pernah mendengar keluhan Bapak itu berarti kopi buatan ku nikmat.
 Dari kecil aku memang suka membantu Emak di dapur. Apalagi saat membuat secangkir kopi untuk Bapak, aku selalu memperhatikan tiap detail nya. Aku juga selalu ingat pesan beliau. Emak selalu mewanti-wanti dengan pesan yang sama.
“Sebagai perempuan kamu itu harus bisa membuat kopi yang enak buat suami mu nanti, nduk. bukan cuma dari rasa ataupun aroma nya saja yang nikmat. Kopi itu juga harus dibuat dengan perasaan penuh cinta. Kalo kamu buat kopi dalam keadaan marah ya pasti rasanya pahit dan nggak enak. Kalo kamu buat kopinya penuh rasa cinta dan keikhlasan selain enak pasti rasa kopinya juga manis.” begitu tutur Emak beberapa kali setelah selesai meracik kopi buat Bapak, sambil sesekali mendendangkan lagu dangdut tahun 90-an dengan logat jawa nya yang centil.
Ku-iyakan saja pesan nya sambil sesekali melirik Emak yang centil itu. Usianya yang tua tak pernah membuatnya terlihat capek melakoni perannya sebagai istri dan juga ibu.
“ Suami itu akan lebih cinta lagi sama istrinya kalo istrinya itu pintar bikin kopi senikmat ini.” pamernya dengan secangkir kopi buatannya yang akan disuguhkan pada Bapak.
“ Tiap bangun pagi harus sudah ada kopi buat suamimu, saat pulang kerja dirumah juga sudah siap kopi lagi, waktu santai begini pun kopi buat suami juga harus ada jangan sampai lupa, bisa-bisa suamimu ngamuk kayak Bapak kemarin dan pergi ke warung gara-gara jatah kopi nya telat ada.” Lanjut Emak lagi.
Pernah suatu kali aku mencoba menawarkan pada emak untuk membuka warung kecil-kecilan untuk menjual kopinya , tapi emak selalu menolaknya dengan alasan yang sama.
“ Kopi emak itu nggak ada apa-apa daripada kopi bikinan warung mbok siti,nduk.” Begitu kata emak merendahkan diri.
“ Emak itu Cuma mau bikin kopi ya buat Bapakmu saja. Buat dinikmati Bapakmu saja bukan buat dijual ke orang-orang.  kalo mereka ketagihan dan terus datang beli kopi kewarung emak. Kan kasihan istri mereka yang harusnya dapat jatah beli kopi dan gula, uangnya malah dibuat beli kopi di warung Emak.” Kata nya sedikit menyindir. Kali ini aku tak bisa mencari alasan lagi untuk membujuk emak. Benar juga kata beliau.
Bahkan beberapa relasi Bapak yang pernah mampir kerumah pun, tak pernah aku melihat Emak meyuguhkan mereka dengan kopi racikannya. Namun beliau selalu seduhkan kopi sachet seharga 2000-an dari toko sebelah rumah. Aku tak pernah bertanya pada Emak apa alasannya pasti lagi-lagi karena hanya ingin kopi buatannya dinikmati Bapak saja.
Emak selalu membeli kopi asli petikan langsung dari kebun. Meski di toko dijual sedikit mahal harganya tapi itu lebih nikmat kata Emak. Karena beliau sendiri yang menggoreng dan menghaluskan kopi itu. Hingga menjadi kopi siap saji yang nikmat seperti ini. Ternyata ini juga bagian resep rahasia Emak. Selain membuatnya dengan penuh rasa cinta tentunya.
***
“ Kamu tau nggak nduk, kopi enak yang harganya mahal itu.”
“ Kopi apa to mak ?? ”
“ Kopi yang dari luwak itu lho, yang harganya mahal itu yang diberita-berita.”
“ Ohh .. kopi thai luwak, Mak. Maksudnya.”
“ Iyaaa, itu, ”
“ Kenapa, Mak. Emak mau beli kopi itu yaa buat Bapak, kan harganya mahal Mak.” Ledekku pada emak.
“ Ya nggak lah nduk, kalo Mak punya uang banyak Emak mau bikin usaha kopi tai luwak, Emak mau rawat luwak-luwaknya. Tiap pagi mau Emak kasih makan kopi yang banyak biar menghasilkan kopi luwak yang banyak juga. Kan disini nggak ada yang jual kopi begituan.”
 Aku tertawa mendengar pembahasan Emak kali ini. Mustahil rasanya Emak punya impian seperti itu apalagi selama ini selain tempat tinggal kami yang jauh dari tanaman kopi. Apalagi kopi yang satu ini.
“ Yaa .. jelas ndak ada to Mak, lawong itu kopi mahal kalo dijual di desa sini mana ada yang mau beli, Emak ini ada-ada saja.” Aku menggeleng heran di ikuti raut cemberut yang Emak pamerkan dengan gaya genit logat jawanya.
***
Ngomong-ngomong soal kopi. Aku jadi teringat dakwah ulama besar dari pondok pesantren ternama di Ponorogo. Mengenai kisahnya tentang filosofi sebuah kopi. Ya secangkir kopi dengan 3 unsur berbeda yang antara satu sama lain saling memiliki keterikatan. Tiga unsur itu adalah Kopi, Gula dan Rasa. Yang mana dalam filosofi tersebut ada sebuah pengibaratkan, yaitu : Kopi sebagai Orangtua, Gula adalah Guru, dan Rasa adalah Siswa.
Begitu penuturan ulama tersebut dengan gaya dakwah nya yang selalu membuat aku terkagum. Beliau juga menggambarkan kasus pada adegan filosofi tersebut beliau memang cerdas membuat sesuatu yang biasa menjadi luar biasa dan sesuatu yang dianggap sebelah mata menjadi pusat perhatian. Seperti filosofi kopi yang baru ku ketahui maknanya setelah peristiwa ini. Dan beberapa kasusnya.
*Kasus Satu : Jika kopi terlalu pahit. Siapa yang salah ?
Gula-lah yang disalahkan karena terlalu sedikit hingga “rasa” kopi pahit.
Jelasnya pada peristiwa pertama membuat aku mengingat akan kejadian saat membuat kopi kedua untuk Bapak yang rasanya pahit karena kehabisan gula didapur. Aku tersenyum geli jika mengingatnya lagi.
*Kasus Dua : Jika kopi terlalu manis. Siapa yang disalahkan ?
Gula lagi karena terlalu banyak hingga “rasa” kopi manis.
Lanjutnya lagi. Sambil memperlihatkan secangkir kopi dihadapannya ke pada audien.
*Kasus Tiga : Jika takaran kopi dan gula balance. Siapa yang dipuji ?
tentu semua akan berkata … kopinya mantap ….
“ Kemana gula yang mempunyai andil membuat “rasa” kopi menjadi mantap.”
Tanya nya dengan majas retorik pada audien, yang beberapa saat kemudian menjadi sunyi.
“ Itulah guru yang ketika “rasa” (siswa) terlalu manis (menyebabkan diabet) atau terlalu pahit (bermasalah) akan dipermasalahkan. Tetapi ketika “rasa” mantap atau berprestasi maka orang tualah yang akan menepuk dadanya “anak siapa dulu.”
Aku baru mengerti kali ini dalam dakwahnya Sang ulama mengistilah tiga unsure kopi sebagai masalah anatara guru-orangtua-murid. Seperti di awal, cara berdakwah beliau memang berbeda dengan ulama lain, tak heran juga jika banyak mahasiswa-nya yang mengikuti gaya dakwah beliau yang unik. Dengan cara memberi makna benda-benda disekitarnya yang mungkin kebayakan orang abaikan ataupun mungkin bahkan tak tau artinya.
“ Mari ikhlas seperti Gula yang larut tak terlihat tapi sangat bermakna.”
Begitu kalimat dakwah nya yang terakhir, sebelum mengakhiri acara yang digelar tahunan pada pondok ternama dikota Reyog ini.
***
“ Aduhh .. kopi nya mana yaa.”
“ Jangan-jangan kopi instannya habis , waduh gawat ..”
Aku terus mengerutu, dan berusaha mencari bagaimana bisa kopi sachet nya habis padahal kemarin masih sisa dua buah. Sedangkan diluar ahh.. tamu Bapak sedang menunggu suguhan. Kenapa tidak pulang saja dan kembali kemari lagi nanti kalau Bapak pulang. Ahh .. menyebalkan. Begini ini kalau Bapak sedang pergi keluar aku dan Emak jadi harus kerepotan mengurusi tamu-tamu Bapak yang lebih memilih menunggu di rumah daripada balik lagi kemari nanti.
Nduk, sudah belum. Ini nak Yusuf sudah nunggu dari tadi lho”
“ iya, Mak. Sebentar. ”
“ Silahkan diminum nak Yusuf, Emak tinggal dulu kebelakang biar Alisha yang nemenin nak Yusuf disini ya, mari.”
“ iya Emak, silahkan.” Kata pemuda itu menuruti kata Emak.
Aku belum meng-iyakan perintah, namun Emak keburu berlalu ke dapur.
“ Sha, lupa ya sama aku. padahal aku sering main ke sini lho.”katanya memulai percakapan.
“ Maaf, Sha nggak ingat. Bang.”
“ Nggak usah panggil Abang, kita seumuran kok.”
 “ Ehhh .. iya .. silahkan diminum dulu kopinya.”
“ Cinta itu seperti kopi panas paling enak di minum saat panas tapi resikonya jadi cepat habis, biar nggak cepat habis di minumnya pelan-pelan tapi resiko nya yaaa .. keburu dingin.”
Begitu celoteh pemuda itu di ikuti gelak tawa. Ketika berhasil meneguk kopi hangat yang baru beberapa menit lalu aku suguhkan.
“ Ini kopi buatan mu Sha”
Aku hanya menganguk kecil.
“ Nikmat rasanya. Kamu pasti pintar bikin kopi.” pujinya lagi.
“ Tidak juga.” Ahh pria ini kenapa menyebalkan sekali.
“ ooh iya kamu nggak kuliah Sha.”
“ Insyaallah tahun depan Bang, tahun ini Sha kayak nya suruh  rehat dulu dehh, udah nyoba masuk lewat jalur apapun masih gagal terus.”
Ahh terlanjur aku harus curhat sedikit padanya.
“ Sabar ya Sha. Gagal itu pahit seperti kopi tapi bikin mata terbuka dan semangat. kamu jangan menyerah meski gagal sekali, dua kali ataupun mungkin berkali-kali. ingat setiap orang punya jatah kegagalannya masing-masing. Kalo masa muda mu gagal terus yang perlu kamu jadikan motivasi lagi itu habiskan jatah kegagalan mu dimasa muda, gagal setelah berjuang bukan gagal yang sengaja kamu ciptakan. Dengan begitu dimasa tua mu kamu tinggal menikmati hasilnya. Bukan begitu Sha.”
“ iya Bang, Sha juga ngerti kok. Gagal bukan berarti Sha nggak berusaha. Memang seperti Sha harus istirahat dulu. Tapi dirumah Sha juga belajar sih mengejar materi yang belum Sha dapat.”
“ Bener Sha. Selain itu kita juga dapat belajar dari sebuah kopi, bahwa rasa pahit itu dapat dinikmati. Seperti juga kegagalan.”
            Ahh soal kopi lagi. Aku heran dengan pemikiran pria ini. Selain ulama besar dari pesantren yang juga menjadikan kopi sebagai media dakwah. Pria ini, menjadikan kopi juga sebagai alat memberiku motivasi.
            “ Sha.”
            “ Iya.”
            “ Selain itu, kamu sibuk apalagi.”
            “ Emmm .. Nulis.”
            “ Hahh .. maksudnya.”
            “ Iya nulis. Cerpen, puisi, novel, kurang lebih seperti itu.”
            “ Wahh hebat kamu Sha. Pasti karyamu nampang di majalah terkenal seperti penulis terkenal itu ya.”
            Aku menggeleng cepat. Menepis dugaan salah dari pria ini.
            “ Kenapa ?”
            “ Tulisan nya masih jelek, masih kalah sama penulis-penulis lain yang karyanya sering nampang di majalah terkenal.” Kataku menyedihkan.
            “ Wahh.. sayang dong ya. Kalo kamu kirim kan kamu bisa dapat honor. Tapi gimana ya kamu ini orangnya nggak PD-an. Susah sihh ngeyakinin kamu.”
            Beberapa saat kami saling diam.
            “ Kalo gitu kenapa kamu nggak coba buka usaha.”
            “ Hahh .. usaha apa ?”
            “ Usaha buka Cafee. Aku kira kopi buatan mu ini enak rasanya . belum pernah seumur-umur aku minum kopi senikmat ini. Aku bisa bantu modal kok buat kamu. Yaa itu kalo kamu mau.”
            “sepertinya Sha, ndak kepikiran sampai situ Bang.”
            “ Kenapa lagi, Sha.”
            “ Nggak apa-apa kok.”
            “ Emmm .. yaudah ya Sha. Aku pamit dulu udah sore kayaknya. Bapakmu masih lama dehh. Kapan-kapan aku mampir sini lagi yaa . aku pamit dulu ..”
            “ Iya. Sha panggil Emak dulu.”
            Iya hanya mengangguk kecil.
            “ Kok buru-buru to nak Yusuf.”
            “ Iya, Mak. Saya masih ada kepentingan lain. Saya pamit dulu ya Mak, Sha. Assalamualaikum.”
            “ Wa’alaikumsalam.”
***
            Nduk.”
            “ sini duduk dulu sama Emak.”
            Aku duduk di samping emak. Tumben Emak mengajak aku berbicara didepan rumah sore begini.
            “ Maaf ya Nduk, tadi Emak nggak sengaja dengar percakapanmu sama nak Yusuf. Soal rencana nya yang nawari kamu mau bantu buka usaha kopi, kenapa to kok kamu nolak.”
            “ Emmm .. alasannya sama kayak Emak, heheeee ..”
            “ Oalahh kamu ini ada-ada saja to, tadi itu gimana ceritanya kok nak Yusuf muji-muji kopi buatan mu emangnya kopi apa yang suguhkan.”
            “ Itu lho Mak, Emak ingat nggak waktu kemarin aku lama banget di dapurnya. Itu soalnya aku nyari kopi instan yang nggak ketemu-ketemu padahal kemarin itu aku lihat masih sisa dua buah ehh malah tadi nggak ada. Ya terpaksa deh aku bikini kopi Bang Yusuf dengan racikan kopi yang biasanya aku suguhkan ke Bapak.”
            Kataku dengan nada kesal. Tapi emak malah ketawa.
            “ Haahahah …”
            Kok Emak malah ketawa sihh.. ihh Emak gitu dehh ..
            “ Sini Sha, Emak mau cerita sesuatu.”
            Aku lebih mendekat lagi, mendengarkan sungguh-sungguh apa yang akan dibicarakan oleh Emak.
            “ Kamu tau ndak Sha, gimana ceritanya Emak sama Bapak dulu ketemu.”
            lagi-lagi aku menggeleng.
            “ Dulu waktu Bapak datang kerumah, Emak juga bikinin kopi racikan Emak sendiri, itu kenapa yang buat Bapakmu itu lebih suka kopi racikan Emak sendiri, ternyata Bapakmu itu jatuh cinta sama rasa kopi bikinan Emak.”
            “ Terus Mak.”
            “ Kamu itu lho Sha kok terus-terus pie toh, ya kalau nak Yusuf ketagihan sama kopi kamu. Bisa jadi dia itu Jodohmu seperti Bapakmu dulu yang mula nya suka sama kopi ehh lama-lama ternyata jatuh cinta sama yang buat kopi.”
            “ Ahhh .. Emak. Jodoh itu kan di tangan Tuhan. Bukan di Tangan Emak hehehe …”
            “ Kamu ini Sha, dasar dibilangi orang tua kok ngeyel.”
            “ Emak sihh ada-ada aja, Ahh lagian kan kita juga baru kenal tadi Mak.”
            Aku memasang muka cemberut. Emak ada-ada saja kopi bisa membuat orang jatuh cinta. Benarkah. Ahh .. ini Cuma ledekan Emak saja.
            “ Jangan dipikir beneran, nanti kamu jatuh cinta beneran lho ..”
            “ Idihhh .. Emak apa-apan sihh. Awas ya Makk aku kejar..”
            Emak terus berlari menghindari gelitikkan ku.
            “ Sudah Sha, jangan begitu Mak geli lhooo ..”
Kata nya sambil berlari menjauh dengan tawa cekikikan.
Beberapa waktu ini banyak pelajaran baru yang aku dapat dari sebuah kopi . Bukan tentang warnanya yang hitam dengan rasa yang manis, tapi secangkir kopi sederhana yang penuh arti sebuah filosofi.
kalo soal cerita guyonan Emak berjodoh dengan Bapak, aku masih ragu meng-iyakan soal jodoh itu Rahasia Allah soal pertemuan Emak dan Bapak yang berawal dari rasa secangkir kopi racikan Emak .. Ahhhh .. entahlah aku tak begitu paham.




~ Selesai ~






















BIODATA PENULIS :
Nama : Yunita Nurmalasari
Alamat : Dsn. Wilangan, Ds. Wilangan, Kec. Wilangan, Kab. Nganjuk. Rt.03, Rw.01, Kode poss : 64462. Prov . Jawa Timur.
No. hp : 085-868-867-260
No. kartu pelajar : 9980827193
Alamat facebook : Yunita Nurmalasari (Pena pelangi senja)
*Tentang Penulis :
Gadis kecil berusia 18 tahun, yang bernama lengkap Yunita Nurmalasari ini, baru menyelesaikan bangku pendidikan di tingkat SMK ini mempunyai Hobby menulis puisi, cerpen, novel maupun artikel ini mulai menyukai Dunia sastra terutama Literasi sejak duduk dibangku Kelas 2 SMP dan baru menekuni Hobby-nya ini ketika menginjakan kaki dikelas @ SMK.
Gadis kecil ini juga tinggal disebuah Desa Wilangan disalah satu kota kecil Nganjuk yang berada di Prov. Jawa Timur.
Jika ingin mengenal saya lebih dekat bisa chek profil facebook : Yunita Nurmalasar.

Terimakasih J
Salam sastra, Salam Pena




Komentar

Postingan populer dari blog ini